Back to School!

Morning guys, it's 14th of July 2008. Dan sekarang waktunya untuk kemabli ke bangku sekolah. entah itu yang dari Sd ke SMP, SMP ke SMA, SMA ke Kuliah. Ada rasa excitement yang sangat besar menanti untuk bertemu teman baru, lingkungan baru, cara belajar baru (bahkan barang-barang baru juga ya... he he). Pastinya juga ada rasa takut... 'Bisa gak ya dapat teman', 'Bisa gak ya ngikutin pelajran', 'Susah gak ya pelajarannya'. Duh, MOS juga sudah menghantui. Disuruh bawa ini itulah, disuru buat yg aneh-aneh lah, disuru jongkok bangun lah, tapi percaya deh semua itu bakal jadi kenangan yg indah. Just go with the flow.

But it's okay, semua pasti bisa. Selamat buat yang sudah keterima di tempat yang diinginkan. Dan buat yg 'terpaksa' masuk ke sekolah yg kurang diinginkan, don't worry, sekolah bukan satu-satunya tempat kamu untuk memperkaya diri. Anyhow... Congratulation yaaa!!!

What makes you a Balinese?


PhotobucketKemarin aku jalan-jalan ke toko buku loakan, dan menemukan satu majalah (yang sebenarnya kurang menarik), tapi ternyata salah satu artikel di dalamnya sangat menyentil orang Bali. Sebagai orang Bali akupun jadi bertanya-tanya, sebenarnya apakah yang disebut sebagai orang Bali? Apa saja kriteria sehingga kita bisa disebut sebagai orang Bali dan tidak lagi menjadi orang Bali? Buat kamu-kamu yang masih muda, coba deh baca artikel di bawah ini, dan mulailah berpikir mengenai ke'ajegan'mu sebagai remaja Bali.Artikel kuketik tanpa mengubah sama sekali. Tulisan asli oleh Putu Wijaya dalam majalah Latitudes tahun 2003, dengan judul asli "Being Balinese".

Apa yang menyebabkan seseorang menjadi orang Bali? Agama? Tanah kelahiran? Tempat tinggal? Adat istiadat? Perilaku? Cara berpikir? Tindakan? Amal? Kepribadian? Pakaian? Ucapan? Niat?
Aku tidak lagi pergi ke pura. Aku sembahyang menurut caraku sendiri di dalam hati. Aku tidak lagi ke banjar, kalau terdengar suara kentongan, aku hanya membayar denda dengan uang, sebab aku harus setiap hari berada di kantor. Aku tidak lahir dan tinggal di Bali, tetapi seluruh kebijakan local Bali seperti desa-kala-patra, karma-pala, rwa bhineda, dan sebagainya, menjiwai hidup dan sepak terjangku.

Apakah aku bukan orang Bali, karena aku tidak memakai kain? Ke mana-mana aku memakai celana jeans dan sepatu kats. Bicara pun aku tidak lagi pakai bahasa Bali, karena bahasa Indonesia membuatku bisa berhadapan setara dengan siapa saja. Hidupku tidak terbelit upacara, karena tugas-tugasku begitu banyak supaya bisa bertahan hidup. Ketika orang-orang datang ke tetangga, aku tidur untuk menyiapkan tenaga.

Aku tidak bisa menari. Tidak bisa menabuh. Tidak bisa melukis atau membuat patung. Masih berhakkah aku disebut orang Bali?

Bagaimana kalau aku menyebut diriku orang Bali, tak peduli apa kata orang, tak peduli apa yang kulakukan? Yang penting, aku merasa diriku orang Bali. Tak cukupkah menjadi orang orang Bali hanya dengan mengatakan bahwa aku ini orang Bali?
Apakah aku berhenti menjadi orang Bali, ketika orang mencapku bukan Bali? Jadi Bali adalah sebuah cap? Kalau sudah berhasil kena cap, lalu akan melekat, apapun yang dilakukan, apapun yang dipikirkan?

Atau Bali sebuah ideologi? Sikap mental? Sikap jiwa?
Ami tak mampu menjawab pertanyaan itu. Ia tertimbun. Lalu sakit. Dalam sakitnya ia mengigau.

Aku bukan orang Bali. Aku tidak mau jadi orang Bali. Aku sudah cacat. Aku sudah terkontaminasi. Aku sudah berkhianat. Aku tak berhak lagi menjadi Bali. Aku sidah asing kepada Bali.

Bila Bali adalah satuan atura, atau bila Bali adalah satuan idiom-idiom hidup yang sudah mati, adat-istiadat yang sudah beku, tata cara yang kaku, aku tidak mau. Aku berhenti menjadi orang Bali.

Keluarga Pak Amat bingung. Mereka buru-buru mencari dukun. Ami disangka sudah kena santet. Tapi dukun mencoba menolong akhirnya kesurupan sendiri dan berteriak-teriak. Ia mengatakan bahwa Bali sedang sakit. Masyarakatnya sedang bingung. Bali sedang menghadapi masa depan yang gelap. Segala sesuatu tentang Bali ternyata sudah berubah dan akan terus berubah. Mencari sesuatu yang Bali saat ini, sesah. Semua nilai sedang goyah. Itu semua kata dukun.

Pak Amat membentak dukun yang dianggapnya sudah main sabun.
Kamu dukun palsu, kata Pak Amat. Kamu bukan mengobati, tapi membuat yang sakit tambah parah.

Tapi Bu Amat menanggapi dengan tenang.
Tak ada yang salah. Kita semua sedang tumbuh. Bali memang benar sedang merumuskan doirinya kembali. Menjadi orang Bali sekarang, juga memerlukan perumusan baru. Tapi tidak berarti kalau menurut rumusan itu kamu bukan orang Bali, kamu tidak Bali, karena rumusan itupu sifatnya temporer.

Ami perlahan-lahan pulih kembali. Bukan karena pertanyaan-pertanyaan sudah terjawab, tetapi karena terbiasa. Toh ia tetap tidak tahu apakah ia orang Bali atau bukan. Juga baginya tetap gelap bagi orang Bali itu seperti apa. Ami hanya merasa, bahwa ia orang Bali, tak peduli betapapun keadaannya berbeda dengan segala persyaratan tentang siapa itu orang Bali.
Aku orang Bali, titik, kata Ami. Aku tidak peduli yang lain-lain. Bali adalah sebuah konsep. Tidak Bali juga sebuah konsep. Dan konsep-konsep itu berubah. Mungkin zamannya berubah, atau karena apresiasi kita yang bergerak. Apapun yang kulakukan, apapun yang kupakai, apapun yang kukatakan, kupercaya sebagai Bali. Dan itu untuk sementara sudah cukup.
Lalu Ami menikah. Pasangannya bukan orang Bali. Disitu Ami kembali bertanya.

Apakah aku bukan orang Bali lagi, karena aku sudah dikawin bukan orang Bali. Apakah kebalian itu bergerak dan berubah karena pernikahan? Atau konsep bali itu diam, teguh di tempatnya, sekali dia ada. Artinya, kemanapun aku pergi, apapun yang kulakukan, sekali aku orang Bali, semuanya akan tetap Bali? Tak peduli suka atau tak suka?
Ami kemudian punya anak. Anaknya tidak lagi tinggal di Bali. Bahkan belum pernah pergi ke Bali. Kalau ditanya siapa dia, jawabnya: Aku orang Indonesia. Samasekali tak ada keinginannya untuk dianggap sebagai orang Bali. Bahkan ia samasekali tidak pernah tertarik kepada Bali. Karena mewarisi bakat dagang dari Ami, lalu ia membuka sebuah bengkel.

Anak itu tumbuh cepat. Dan pada gilirannya iapun menikah. Pilihannya orang asing berdarah Belgia. Karena kesulitan, atau karena memang diniatkan, ia kemudian pindah ke Belgia mengikuti istrinya. Di situ ia membuka warung masakan Indonesia. Nama restorannya: Bali.
Masyarakat disekitar, para langganan, selalu mengatakan cucu Ami itu orang Bali. Bukan orang Indonesia. Dan yang bersangkutan tak peduli. Mau disebut apa juga biarin, katanya, asal makan di restoranku.

Pada suatu kali Ami dan Amat mengunjungi anak itu.
Apakah kamu tidak sadar bahwa kamu ini orang Bali, Tanya Ami.
Anak itu menggeleng. Tidak.
Kalau begitu kamu benar-benar orang Bali.
Anak itu tetap menggeleng, sekarang tidak mengerti.
Kamu bingung, mengapa kamu kami sebut orang Bali?
Ya.
Karena kamu orang Bali.

Anak itu tersenyum. Aku tidak peduli katanya. Tidak ada yang berubah aku disebut orang Bali atau bukan. Tidak ada yang harus dibantah atau disetujui. Ami menggeleng. Kamu keliru. Dengan menyebut kamu sebagai orang Bali atau dengan menyadari diri kamu sebagai orang Bali, kamu akan ikut mengusung Bali ke masa depan.
Anak itu tertawa. Aku tinggal di Belgia, aku tidak peduli.
Ami mengangguk. Dengan mengatakan tidak peduli, kamu juga sudah ikut mengusung Bali ke masa depan.

Judul asli : Being Balinese
Latitudes Magazine. October 2003. Volume 33Photobucket

Finally, the new look... (UPDATED)

Morning people... Mungkin cuman tiga jam aku sempat tidur. Lagi-lagi karena gregetan dengan template weblognya The Youth Corner, akhirnya aku semalam suntuk ngedit and ngerombak total templatenya theYC. Emang dasarnya manusia yah, gak pernah puas. Lagian siapa bilang nge blog itu gampang? Emang perlu sedikit utak atik. Sekadar nulis-nulisnya sih gampang aja klo emnag gak terlalu peduli dengan desain. Nah klo pengen desain sesuai dengan yang kita mau itulah yg bisa bikin kepala mumet mikirin gimana caranya. Mungkin ini udah yg ke 4 (empat) kalinya kita ganti template. Gak puas, tapi gak ada yg bisa bantu buat desainnya kita sesuai yg kita mau... dengan gratis (he he).Photobucket
Dalam rangka ganti Logo
Yup, sekalin juga dalam rangka ganti logo, temen-temenku di theYC akhirnya ku setrap juga ampe malem untuk ikut bantuin buatin logo yang baru. Soalnya banyak complaint tentang logo yg lama. Yaa warnanya gak matching lah, ya gak bisa kebaca dari jauh lah. ya ini lah ya itulah. Nah, sekarang (setelah melalui perdebatan yg alot) akhirnya logo yg baru keluar. Hmmm... moga-moga aja semua suka.Photobucket Logo theYC lamaPhotobucket Logo theYC baru
Nothing is Perfect, termasuk Blogger
Mungkin udah hampir 7 (tujuh) bulan lebih kita makai layanan dari Blogger, dan mungkin sudah selama itu juga kita gak puas dengan si Mr.Blogger ini (sorry ya Blogger). Pengen sih rasanya kita pindah ke layanan platform Blogging yg laen, tp setelah sempet coba juga, duh emang gak ada yg perfect ya di dunia ini.Basically sih pengennya bisa ngelakuin beberapa hal di bawah ini nih:
  1. Template yg bisa diubah atau di edit dgn gampang (soalnya gk terlalu ngerti dengn bahasa HTML and CSS apalagi PHP). 
  2. Postingan yg bisa dibuat sticky, alias ada yg bakal tetep berada di atas sebagai artikel utama untuk kurun waktu tertentu.
  3. Bisa ada gallery yg langsung terintegrasi dari dalam platform.
  4. Supaya bisa ngasi tag 'Read More' secara otomatis.
  5. And tetep FREE (maunya)
Akhirnya pilihan tetap jatuh ke Blogger, meski ini buat kita-kita terpaksa belajar sedikit cara ngutak ngatik isi dalemannya. But anyway, Mr. Blogger semoga kamu dengerin keluh kesahnya kita yah. Jangan mau kalah ama blogging platform yg laen.Photobucket Design weblog lamaPhotobucket Desain weblog baru
Photobucket