Semenjak belajar di sekolah seni di Denpasar (ISI Denpasar), Bapak Made Sidia (Profile beliau pernah theYC kemukakan sebelumnya) pedalang muda dan brilian ini telah bereksperimen dengan berbagai metode untuk memberikan presentasi visual yang lebih menarik dalam pertunjukan wayang kulit. Pertunjukan wayang listrik ini merupakan perpaduan dari elemen-elemen yang diambil dari pertunjukan moderen yang menghasilkan pertunjukan wayang yang tidak hanya menarik secara visual, tapi juga menyajikan cerita yang indah dengan tetap menjaga integritas dan kejernihan cerita dan pesan-pesan yang ingin disampaikan.
Tema cerita yang diangkat dalam pertunjukan wayang moderen ini banyak dipengaruhi serta menyesuikan dengan kondisi saat ini. Issue terhangat, problem-problem global disekitar kita, bahkan issue mengenai anak muda pun bisa menjadi tema yang sangat menarik untuk diusung sebagai tema wayang moderen ini. Bapak Made Sidia optimis dengan kebangkitan wayang moderen ini mampu menggugah willingness dan keperdulian anak muda untuk exist baik sebagai seniman (pedalang) maupun sebagai penikmat wayang. Dengan demikian, wayang generasi baru ini dapat tetap dilestarikan sebagai bagian dari budaya tradisi Bali dan juga memberikan kesempatan bagi seniman untuk berkreasi, berekspresi dan bereksperiment sesuai dengan perkembangan jaman.
Sesungguhnya, istilah wayang listrik adalah suatu seni pertunjukan wayang moderen yang menggunakan bantuan penyinaran dan efek background layar secara lebih moderen dan canggih. Jika pertunjukan wayang tradisional memakai blencong atau lampu kuno yang dinyalakan dengan minyak kelapa untuk memproyeksikan wayang ke layar. Karya wayang kontemporer menggunakan proyektor yang dioperasikan oleh computer.
Wayang moderen/kontemporer hampir sebagian besar adegan dalam pementasannya menampilkan rekaman video dan gambar-gambar digital sebagai latar belakang. Serta, didukung pula oleh permainan cahaya serta instrument musik gamelan yang berkolaborasi dengan instrument musik moderen. Pemakaian computer memberikan gambar dan visual effect yang lebih jelas sebagai latar dalam pertunjukan, menampilkan gambar-gambar yang berbeda, dari hutan, gunung, candid an laut. Baik yang berwarna maupun hitam putih, membuat pertunjukan wayang kulit kontemporer lebih menyerupai pertunjukan film.
Untuk menyiasati ruang yang lebar, maka dikerahkan beberapa orang dalang yang memainkan wayang secara bergantian.dengan bantuan papan luncur (skateboard), setiap dalang dapat dengan mudah berganti-ganti posisi sesuai dengan peran yang tengah dimainkan. Oleh karena pemakaian papan luncur ini, maka pementasan wayang tersbut mendapat julukan wayang Skateboard oleh komunitas orang asing di Bali.
Ck ck ck…..Bapak Made Sidia memang pandai dalam mengkolaborasikan seni tradisi dengan didukung oleh kecanggihan teknologi. Iya ya… meski tradisional tapi gak harus gaptek, malah harus pandai-pandai memanfaatkan dan berkreasi dengan keadaan saat ini. Apploush deh buat Bapak Made Sidia.
Hhmmm…, sayang sekali theYC belum tuntas mewawancarai Bapak Made Sidia mengenai seni Wayang Kontemporer ini. Beliau sangat sibuk dengan seabrek aktivitas lainnya selain menjadi dosen di ISI Denpasar, pengajar tari di beberapa sanggar, creator pertunjukan seni tradisional Bali, show wayang, show gamelan/tabuh, beliau juga adalah seorang penari (aiiihhhh…. Bungkus deh pak, kok semua bisa ya, hix hix). So, info lengkap mengenai seluk beluk wayang segera menyusul ya…….. ^_^ @theYC
Filsafat Kehidupan dalam Wayang Bali
Berdasarkan prasasti Bebetin yang berangka tahun saka 818 (896 Masehi) atau sekitar abad ke-9, di Bali saat itu diperkirakan telah ada pertunjukan Wayang Kulit. Sejak masa itu, pertunjukan Wayang Kulit di Bali, selain dipakai sebagai persembahan dan hiburan juga dipakai sebagai media pendidikan. Tak heran bila seorang dalang (Yang memainkan wayang) di Bali dituntut untuk menguasai semua jenis ilmu, baik kesenian, kemasyarakatan, pertanian, filsafat agama maupun ilmu-ilmu yang lain. Karenanya seorang dalang atau Jero dalang yang mumpuni disebut Guru Loka atau Guru Dunia yang mampu memberi pelajaran kepada masyarakat.
Pertunjukan wayang di Bali bersifat sakral dan profan. Di satu sisi wayang dipertunjukan sebagai bagian dari pelaksanaan upacara, seperti misalnya wayang lemah, wayang sapu leger dan wayang sudamala. Dalam pelaksanaan upacara yang bersifat ruwatan kehadiran wayang dipandang sebagai unsur yang mampu memberi kesehimbangan, dan dalang dipandang sebagai pemimpin agama yang berhak meruwat dan memberi anugrah. Dalam pertunjukan wayang untuk upacara, dalang dipandang sebagai perwujudan Sang Hyang Pasupati dan wayangnya disebut sebagai Sang Hyang Ringgit. Sedangkan dalam pertunjukan yang bersifat profan, pertunjukan wayang dipakai sebagai media hiburan sekaligus media pendidikan. Dari pertunjukan wayang masyarakat Bali diajarkan tentang tatwa, etika, filsafat hidup dan pengetahuan modern lainnya. Karenanya seorang dalang juga harus memiliki pengetahuan yang luas.
Di Bali, pertunjukan wayang diidentikan dengan kehidupan manusia itu sendiri. Berbagai tokoh-tokoh dalam wayang merefleksikan berbagai karakter manusia, sedangkan hidup itu sendiri bagi orang Bali hanya dipandang sebagai bayangan semata dan tokoh dalang dianggap sebagai tangan-tangan Tuhan yang mengatur dunia. Kelir yang dipersepsikan sebagai dunia dan blencong (lampu) memberi kekuatan dan karakter pada bayangan. Bayangan wayang-bayangan wayang yang hitam putih senantiasa dipisahkan menjadi dua, wayang yang ke luar dari kiri dan wayang yang ke luar dari kanan. Wayang baik keluar dari kanan dan wayang jahat keluar dari kiri. Akhirnya seberapa pun besar perbedaan karakter wayang, seberapa pun dasyat peperangan yang terjadi dalam pertunjukkan wayang, akhirnya saat pertunjukan selesai semua wayang-wayang itu menyatu dalam keropak wayang. Semua wayang berada dalam keropak yang sama, keropak sang dalang. Dari wayang, dari proses pertunjukan wayang dan dari cerita pertunjukan wayang orang Bali belajar tentang filsafat kehidupan, tentang tentang hidup dan mati. @SIDIA
No comments:
Post a Comment